Gagal SBMPTN Part I



freepik.com



Pada tahun 2019 di kala aku masih menduduki kelas 3 SMA, aku mengikuti sebuah bimbel bernama Shine. Perjuanganku saat itu benar-benar terasa berat baik secara fisik ataupun mental. Bagaimana tidak, Senin sampai Jumat aku belajar di sekolah, Sabtu dan Minggu aku belajar di bimbel, dengan jangka waktu jam pelajaran yang sama (dari pagi hingga sore). Mereka tidak memungut biaya sama sekali, hanya dengan sebuah perjanjian bahwa setiap siswa bimbel harus mengikuti alur sampai akhir. Oh ya, bimbel Shine ini memang diperuntukkan untuk siswa yang berasal dari keluarga yang kurang beruntung secara finansial. Maka dari itu, aku harus menghadiri setiap pertemuan sebagai rasa tanggung jawabku ke pada mereka. Teman sekolah yang sekali-kali mengajakku bermain di hari libur, selalu kutolak mentah-mentah. Ya, demi belajar SBMPTN aku rela mengabaikan temanku sekali pun. Belum sampai situ, bimbelku mengadakan sebuah program Learning Camp (LC) selama satu bulan penuh yang akan diisi belajar setiap harinya! Super! Pada awalnya aku berpikir, “Sanggup kah aku?”. Tetapi kekhawatiran itu sirna ketika teman baikku, sebut saja Salsabila, memperlihatkan rasa antusiasnya tepat di depanku. Rasanya, tingkah kekanakkan dia membuatku semakin tenang.
 
Tiba saatnya, bulan April alias satu bulan sebelum UTBK. Para peserta didik bimbel mulai berdatangan ke tempat LC membawa semua peralatan dan perlengkapan untuk sebulan lamanya. Hari-hari kami lewati dengan belajar menyenangkan, namun di tengah bulan, aku mulai merasa lelah mental. Bayangkan saja, kegiatan pembelajaran dimulai pada pukul delapan pagi dan selesai di sepuluh malam. Di sini aku menyadari bahwa tidur itu memang suatu kenikmatan :)

H-1 UTBK, pada pukul sepuluh malam yang seharusnya semua orang tertidur, pikiranku masih kusut memikirkan bagaimana cara pengerjaan salah satu soal itu, lalu itu, lalu itu, ah, itu satu lagi. Aku meminta Salsabila untuk mengajariku, dan ia pun mengiyakan. Pukul dua belas malam, dia katakan bahwa dia benar-benar mengantuk. Sebelum aku menyuruhnya tidur dia sudah kehilangan kesadaran duluan. Ya, apa boleh buat, lagipula aku masih ingin meneruskan ini. Tanpa kusadari, sudah pukul tiga shubuh. Hal yang tidak benar jika aku tidak tidur sama sekali untuk hari esok yang ditunggu-tunggu kedatangannya. Baiklah, selamat tidur.

Kriiiiiiiinngggg!

Dengan suara alarm yang cukup kencang, membuat semua orang terbangun dan berkata, “Beberapa dari kalian akan UTBK hari ini ya? Sekarang sudah pukul empat shubuh, lho.”
A-apa? Pukul empat? Fuih.. benar-benat tidur yang bukan seperti tidur, pikirku. Kami semua memiliki rutinitas membaca al Quran bersama setelah shalat Shubuh sampai fajar tiba. Setelah itu, baru kami melakukan aktivitas masing-masing. Pukul enam aku berangkat ke kampus tujuan tempat UTBKku dilaksanakan. Aku hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit untuk berjalan menyusuri.
Saat UTBK berlangsung, aku merasa percaya diri terhadap soal-soal itu! Ya! Ya! Semua sudah kupelajari, dan aku  tahu jawabannya! Rasa percaya diriku masih terbawa hingga program LC sudah selesai dan kami pulang ke rumah masing-masing.
 
Hari pengumuman tiba! Pukul tiga sore! Sekarang masih pukul enam pagi!

Sudah dua belas siang!

Pukul dua!

Pukul dua lebih lima puluh sembilan menit!

5.. 4… 3.. 2.. 1….

Aku pun menulis identitas diri lalu mulai mengklik pada laman pengumuman.

Eits, tunggu.

Tarik napas. Yap..

Bismillah.

Dan…

Betapa kagetnya aku saat melihat layar ponsel yang sedang kupegang saat ini!

ANDA MASIH BELUM LOLOS! JANGAN PANTANG MENYERAH

Apa?

Apa ini?

Maksudnya aku tidak lolos?

Hey, apa-apaan semua ini!

Aku mengulangi tindakanku tadi, menulis identitas dan mengeceknya, tapi hasilnya sama saja!

Aku tidak lolos?

Bagaimana rencana kuliahku?

Bagaimana jika aku tidak kuliah?

Bagaimana jika…

Bagaimana jika…

Mengapa hal ini harus terjadi padaku?

Bukankah aku sudah belajar?

Bukankah aku sudah berjuang?

Bukankah aku sudah mengatasi rasa lelahku selama ini?

Semua pikiranku terus fokus untuk menyalahkan keadaan, dilanjut dengan menyalahkan diri sendiri.
Sudah kuduga, aku ini biasanya pesimis, ketika aku optimis, semua hal terjadi di luar ekspetasi!

Aku memang tidak dilahirkan untuk optimis!

Salah bahwa aku optimis!

Keluargaku mulai bertanya-tanya bagaimana hasilnya. Meihat jawabanku, ekspresi wajah mereka berubah seolah mengatakan, “Tak apa, belum rezeki.”

Aku muak melihat semua hal itu. Aku tidak peduli apa kata mereka. Aku hanya dihantui oleh pikiran-pikiran yang tidak seharusnya kupikirkan. Hampa. Kosong. Senyap. Lenyap. Gelap.

Ibuku memasuki kamar dan menghampiriku, “Tak usah bersedih, tak usah melebih-lebihkan. Belum rezeki. Nanti tahun depan bisa coba lagi, kan? Kita berdoa saja pada Allah, minta semuanya. Andalkan Dia di setiap waktu.”

Ya, ya, ya. Aku tahu, aku tahu, aku tahu! Allah lah pemilik segalanya! Aku pun masih mencari alasan mengapa Allah tidak meridhaiku untuk lulus SBMPTN, padahal perjuanganku berat sekali rasanya! Apa jangan-jangan Allah tidak menyayangiku? Hah?

Aku berpikir lagi. Oke, jangan benci Allah, jangan benci mama, toh semua ini salahku. Hanya kesalahanku, aku ceroboh, aku bodoh, aku malah percaya diri. Lagipula mama hanya memberi semangat, bukan? Ya, ya, tenanglah….
Tapi…

“Ma..” ucapku dengan nada layu.

Mama menjawab, “Iya?”

“Aku ingin sendirian.”

Mama terdiam lalu menjawab lagi, “Baiklah, jangan terlalu bersedih ya. Itu semua hanya kompetisi, kok.”

‘kok’?! ‘kok’ mama bilang?! Sudahlah, tolong pergi dari kamarku, kumohon! Kataku lagi dalam hati.
Ketika mama sudah meninggalkan ruangan, pikiranku masih sulit dikontrol. Aku tetap menyalahkan diri, menyalahkan kondisi, tapi di sisi lain, aku terpengaruh oleh kata-kata mama untuk tidak bersedih.
Keesokan harinya, aku mengatur mindsetku untuk menjadi kuat dan tidak bersedih. Seolah tidak ada yang terjadi kemarin. Aku pun meminta semua anggota keluarga di rumah untuk tidak membahas topik itu lagi. Aku mulai menikmati hidup. Aku bersantai, aku kembali tenang. Ketika aku melihat Instagram, hampir semua postingan adalah twibbon kampus mereka. Aish. Akhirnya aku menghapus aplikasi menyebalkan itu. WA yang penuh dengan pertanyaan, “Hasilmu bagaimana?” pun kuhapus, bahkan kuhapus akunnya sekalian. Aku ingin istirahat sejenak, aku ingin ketenangan.

Berikutnya aku melakukan aktivitas di rumah seperti biasa lagi, menyapu, mencuci, mengelap, menggambar, menonton film, dan lain-lain. Detik berikutnya ibuku memanggil dari ruang depan.
Ternyata sudah ada ibu, ayah, dan kakak di sana. Sepertinya mereka menunggu kedatanganku.

“Ada apa?” kutanya

Ayah menjawab, “Begini, bagaiana kalau kau mendaftar ke UPI dengan jalur Mandiri?”
Dengan penuh keraguan aku berkata lagi, “Bukankah biayanya mahal?” karena, bagaimana pun juga, keluargaku berada di bawah kata sederhana, sedangkan jalur tersebut seolah ditujukan untuk ‘keluarga Sultan’.

“Aku sudah mencari informasi, kau bisa mendaftar beasiswa KIP dengan jalur itu.” Kakakku ikut berbicara.

“Bagaimana bisa?”

“Bisa, ini serius. Kau bisa mengajukan pada BEM UPI untuk permintaan mengikuti beasiswa ini. Tertarik?”

“Ayolah, mumpung ada kesempatan di depan.” Ucap mama.

“Baiklah.”

Akhirnya aku mengikuti saran mereka. Kulakukan kegiatan demi kegiatan dari jalur Mandiri demi studi lanjutku ke UPI.

Singkat cerita, aku lolos. Hal ini benar-benar membuatku Bahagia. Tapi di kala malam tiba, pikiranku selalu memikirkan masa depan yang tidak-tidak. Dari lubuk hatiku yang terdalam, aku masih mengkhawatirkan biaya masuknya. Apakah semahal itu?

Berikutnya, semua peserta yang lolos diharuskan membayar uang pangkal. Besarannya berbeda setiap jurusan. Jurusanku saat itu memiliki uang pangkal yang cukup besar, ya.. menurutku. Ketika aku mengetahui biayanya puluhan juta, tiba-tiba harapanku sirna seketika. Sudahlah. Tak usah diperjuangkan lagi, pikirku.

Berbeda dengan pikiran mama. Ia masih tetap mencoba demi kelolosanku. Ia mengajukan keringanan pembayaran pada UPI, yang pada akhirnya kami memenuhi panggilan dari wakil dekan untuk tahap wawancara. Sebelum wawancara, aku masih tetap khawatir. Berkali-kali kukatakan pada mama untuk menyerah dan kembali pulang, tapi mama tetap saja penasaran. Tak kunjung lama, ada petugas menghampiri para peserta yang mengajukan, ia berkata bahwa kami harus membayar setidaknya 50% untuk dana awal. Sebelum ia selesai berbicara aku menarik lengan mama untuk menaiki lift.

“Sudahlah, lupakan saja, ma. Aku bisa ikut SBMPTN lagi tahun depan, kok.”

Dengan ketenangan hati, kami kembali pulang.



Part 1-End

0 Komentar