Gagal SBMPTN Part II

 



“Nih, daripada pengangguran, kau harus bekerja. Bantu orang tuamu mencari uang. Kerjakan apapun asal halal.  Memangnya kau akan menganggur sampai kapan? Walau wanita, tapi pekerjaan harus dimiliki.”

Uang, uang, uang! Sepertinya di mata nenek, selalu saja uang. Setiap hari nenek ke rumahku, dan rutin mengatakan bahwa aku lebih baik bekerja. Sebenarnya tidak ada yang salah dari ucapannya, hanya saja, saat ini aku ingin istirahat sejenak. Baru saja kemarin aku ditimpa ujian hati, pikiran, dan mental.. Kali ini ada rintangan baru.  Mengapa seperti tidak ada yang peduli pada perasaanku? Aku hanya… aku hanya membutuhkan istirahat untuk kembali bangkit. Tapi memang tak ada seorang pun yang peduli, selain diri sendiri. Kuiyakan ‘pepatah’nya dan mulai mencari pekerjaan. Tunggu, kutarik perkataanku barusan. Maksudku, benar-benar tidak ada seorang pun yang peduli pada diriku termasuk diriku ini.

Hari-hari berlalu di waktu berikutnya kuhabiskan untuk mencari uang dengan menjadi guru TK, bersama anak-anak. Mereka selalu bahagia bagaimanapun kondisi mereka, sehingga menciptakan suasana ceria dalam kelas. Aku pun, menjadi pribadi yang melupakan kegagalanku ketika SBMPTN kemarin, padahal kejadiannya belum lama terjadi.

Semakin lama aku mengajar, semakin paham betul diriku terhadap poin-poin penting di rutinitas dalam bekerja. Bel sekolah berbunyi ketika pukul 8 pagi, pertanda kegiatan akan dimulai. Di awal menit, guru harus siap menyapa dengan senyuman hangat. Anak-anak berbaris di depan kelas untuk menyanyikan lagu-lagu anak, kemudian memeriksa kebersihan tubuh, lalu masuk kelas untuk lanjut melantunkan surah-surah, hadist-hadist, serta doa sehari-hari bersama-sama. Hal yang sulit di waktu ini adalah, ketika mendapati seorang anak, atau dua anak, yang enggan ditinggal oleh ibunya. Bahkan ada yang sampai menangis, menjerit-jerit tak mau sekolah, dan sebagainya. Di sini lah perjuangan guru TK yang pertama, harus mengandalkan bujukan penuh kasih sayang disertai ekstra hati-hati, supaya anak merasa aman dan nyaman dan terbujuk untuk bersekolah. Ada dua pilihan yang bisa didapat. Jika tak berhasil, biasanya anak tersebut dipulangkan. Bila berhasil, maka anak tersebut akan mengikutiku kemana pun, kapan pun, dan dimana pun aku berada, sepanjang hari. Kemudian pukul 9 pagi, dimulai kegiatan pembelajaran yang dikemas dalam bentuk permainan, mewarnai, menggambar, membuat kerajinan, bernyanyi, menari, dll. Semua kegiatan dilakukan dengan senang dan penuh kegembiraan. Namun ada satu penghambat, yakni jika terdapat anak-anak yang berkelahi berebut sesuatu atau alasan lainnya. Mereka bukan hanya beradu mulut, tetapi mereka bisa memukul, menendang, bahkan ada salah satu anak yang berkelahi sampai hidungnya mengeluarkan darah akibat pukulan yang keras hingga orangtuanya datang ke sekolah. Di sini perjuangan yang kedua, guru harus selalu siap siaga untuk menghadapi hal ini. Hal utama yang harus dilakukan adalah memisahkan mereka, dengan tidak memarahi dan tidak mengatakan kata “jangan”, melainkan mengurusi dengan senyuman dan kasih sayang, lagi dan lagi, memang itu senjata dari guru TK yang harus dimiliki. Hal yang biasa kulakukan agar situasi cepat berubah menjadi baik adalah dengan cara memeluknya. Aku pernah mendengar suatu kalimat dari drama Korea yang kutonton, “Anak yang marah itu jantungnya berdegup kencang. Maka jika ia marah, peluklah dia dengan kasih, dengan tenang dan tentram, sehingga degup jantungnya akan mengikuti degup jantungmu. Jika sudah tenang, maka ucapkanlah kata-kata yang bisa membuat anak itu tidak marah lagi.” Dan saya lakukan, tapi sebenarnya tidak semudah itu. Terkadang saya mendapati pukulan dan memar karena anak tak mau tenang (ttantrum). Baiklah, kuanggap itu adalah episode-episode bagian pahitnya.

Lanjut, pada pukul 11, memasuki jam istirahat, aku harus tetap mengawasi anak-anak dan memberikan pelatihan toilet training, kemudian makan Bersama. Pembelajaran selesai pada pukul 12, aku tidak bisa langsung pulang begitu saja, melainkan harus menunggu dan memastikan bahwa setiap anak dijemput oleh orang tuanya. Sesaat setelah semua anak pulang, aku harus menyiapkan jenis kegiatan beserta media yang akan dipakai esok hari. Inilah perjuangan superku yang kedua di hidup ini, yakni sebagai guru TK yang biasanya pekerjaan ini selalu diremehkan oleh orang-orang kebanyakan.

******

Dengan penantian yang lama, akhirnya setahun berlalu sudah. Waktu yang ditunggu-tunggu datang, siapa lagi kalau bukan si SBMPTN. Aku perlu belajar lagi untuk tahun 2020 ini. Aku mulai keluar dari pekerjaanku, dan kembali menjadi seorang yang ambisius. Aku harus lolos!

Berhari-hari kulewati dengan belajar mandiri tanpa merasa lelah. Kupaksakan walau belajar matematika, si musuh bebuyutanku. Aku rela. Sungguh, aku rela tersiksa sejenak demi mencapai targetku. Kutuliskan di depan meja belajar dengan kata-kata yang kuambil dari Google, yang berisi, “Lebih baik tak tidur semalaman daripada mengulang tahun depan”

Entah siapa yang membuat kata-kata itu, aku ingin mengucapkan terima kasihi banyak, karena kalimat tersebut benar-benar mengatur kebiasaanku untuk menjadi seorang yang rajin belajar.

Hari-H UTBK. Semua soal aku bisa mengerjakan, walau disertai rasa pesimis. Sudahlah, seperti pepatah teman sebangku SMAku, “kerjakan dan lupakan”.

Hari pengumuman tiba, aku menyiapkan diri jikalau aku tak lolos lagi. Aku menjauhi semua anggota keluarga dan tidak memberitahunya kapan pengumuman tiba. Dan benar saja, kesabaran membawa hasil. Ya, kesabaran. Aku tidak akan berkata ‘usaha membawa hasil’, karena, sejak tahun kemarin aku sudah berusaha sekuat mungkin namun berhasil naas.

Aku lolos!

Benarkah ini?

Aku mencoba cek kembali dengan memasukan identitas, dan…. Ya! Aku lolos!

Segera kukabari mama bahwa aku sekarang adalah bagian dari UPI! Alhamdulillah! Puji syukur tak henti-hentinya kuucapkan pada Yang Mahakuasa.

Dengan membangga-banggakan diri bahwa aku masuk UPI dengan ujian, aku mengikuti semua alur yang mahasiswa baru ikuti, mulai dari ospek fakultas, hingga ospek jurusan. Namun….

 


…baru kusadari..

 


…ini bukanlah akhir dari segalanya.

 

Part II-End

 

 

 

 

 

0 Komentar